Gelar wicara BINTANG (Bincang Inspiratif tentang SDGs) edisi April 2023 mengangkat tema “Women Become Leader, Why Not?”, dengan menghadirkan dua pembicara, Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum (Dekan Fakultas Hukum) dan Prameswari Desfriadi Anjani (Mahasiswa Fakultas Hukum, Finalis Delapan Besar None Jakarta 2022), dan dipandu oleh Audrey Pradipta. BINTANG edisi April ini terselenggara atas kerja sama SDGs Center UNDIP dan Tanoto Scholars Association (TSA), dan telah ditayangkan di kanal Youtube https://youtu.be/rklmmHQuoBA pada 27 April 2023.
Menurut Laporan Kesenjangan Gender dari Forum Ekonomi Dunia Global (World Economic Forum/WEF), hanya 22,10% dari perusahaan di Indonesia yang memiliki manajer wanita. Hal ini menunjukkan masih kecilnya kepercayaan terhadap kepemimpinan wanita. Kepemimpinan berlaku untuk siapapun, baik laki-laki maupun wanita, hanya saja masih terjadi kesenjangan atau ketidaksetaraan antara kepemimpinan laki-laki dan wanita. Pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh pemandu acara ke pembicara adalah apakah kepemimpinan itu? Menurut Prof Retno, kepemimpinan adalah sikap yang dimiliki seseorang yang dipercaya menjadi pemimpin sebuah organisasi, sikap untuk mengelola tanggung jawab pekerjaannya, mengelola bawahan/orang-orang dipimpinnya, dan keteladanannya sebagai pemimpin seperti kejujuran, integritas, dan kemampuannya. Oleh pembicara kedua, Prameswari D Anjani, definisi kepemimpinan diartikan sebagai bakat dan kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat membangun inspirasi, memandu dan membimbing lingkungan yang dipimpinnya sehingga bisa mencapai tujuan yang sama yang akan dicapai.
Menurut kedua pembicara, perempuan Indonesia sudah terbukti sangat mampu menjadi pemimpin dengan banyaknya perempuan yang menduduki posisi atau jabatan pimpinan di berbagai bidang. Perempuan secara alami sudah menjadi pemimpin karena kodrat perempuan yang bakal menjadi ibu yang harus memimpin anak-anak yang dilahirkannya. Naluri dan karakteristik perempuan sangat kuat sebagai pemimpin, bahkan kuat dan majunya sebuah negara juga bergantung pada kekuatan perempuan.
Prof Retno Saraswati menerangkan bahwa perempuan sudah menjadi pemimpin sejak dahulu, namun pada perkembangannya, kepemimpinan perempuan tidak sepesat perkembangan kepemimpinan laki-laki. Melalui SDGs, dunia mengupayakan untuk memanusiakan, menyejahterakan dan mencapai keadilan bagi seluruh manusia, terutama perempuan. Meski perkembangan kepemimpinan perempuan masih lambat, segala upaya harus terus dilakukan untuk memajukan kepemimpinan perempuan Indonesia, seperti memberi kesempatan yang sama unutuk perempuan dan laki-laki dalam kepemimpinan, menghilangkan stereotipe kepemimpinan perempuan yang diidentikan dengan emosional dan lemah, dan mendorong perempuan untuk mencapai prestasi tertinggi dengan segala kemampuannya.
Saat ditanya tentang adanya stigma terhadap perempuan yang dibangun oleh masyarakat, kedua pembicara sepakat bahwa stigma-stigma negatif terhadap perempuan itu merugikan permpuan itu sendiri, dan harus bisa dihapus oleh masyarakat agar kesetaraan gender dapat tercipta dalam masyarakat. Stigma-stigma di masyarakat terhadap perempuan yang dapat menghambat kemajuan kepemimpinan perempuan seperti sisi emosional dan sisi lemah perempuan harus dilawan dan dibuktikan dengan kerja keras perempuan. Pembuktian oleh perempuan sendiri akan meyakinkan masyarakat bahwa kepemimpinan perempuan sama tangguhnya dengan kepemimpinan laki-laki. Kepercayaan diri perempuan akan kemampuannya akan mengokohkan perempuan sebagai pemimpin.
Menurut Prof. Retno Saraswati, ketika ditanya tentang cara efektif menangani ketidaksetaraan gender dalam kepemimpinan, yaitu dengan memberi lebih banyak kesempatan kepada Perempuan untuk mengembangkan dirinya. Menurutnya, pemerintah perlu memberi keleluasan kesempatan yang sebesar-besarnya pada perempuan dan laki-laki. Selain itu, pemberdayaan perempuan dengan affirmation action juga bisa dilakukan untuk menangani ketidaksetaraan gender. Perempuan juga harus didorong agar dapat memberdayakan dirinya sendiri dengan segala kemampuannya. Perempuan juga harus memegang kuat komitmennya ketika sudah menjadi pemimpin.
Masih menurut Prof. Retno, dengan memegang prinsip kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, Ing Ngarsa Sung Tuladha – Ing Madya Mangun Karsa – Tut Wuri Handayani, pemimpin perempuan bisa menggunakan kelembutan perasaaannya untuk memahami orang-orang yang dipimpinnya dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Sebagai pemimpin, perempuan juga harus mampu memberi keteladanan kepada anggota yang dipimpinnya. Di tengah-tengah anggota yang dipimpinnya, perempuan bisa mengayomi dan memahami anggota-anggotanya dengan cara khas perempuan yang lembut hatinya. Sebagai pemimpin perempuan, juga bisa mendorong dan mendukung semua anggota yang dipimpinnya.
Kedua pembicara juga menyampaikan pendapatnya tentang cara mengajak mahasiswa dan masyarakat agar lebih sadar dengan isu kesetaraan gender. Keduanya sepakat bahwa kampus bisa membuka selebar-lebarnya ruang pengembangan diri bagi para mahasiswi atau masyarakat perempuan. Ruang pengembangan diri seperti kompetisi, konferensi, kegiatan kolaborasi antar universitas dapat dipersembahkan bagi siapapun, terutama perempuan, dengan catatan kegiatan yang dilakukan tidak disyaratkan dengan batasan-batasan yang diskriminatif. Penghapusan stigma yang melemahkan kaum perempuan juga harus terus dihilangkan, sehingga tidak melemahkan posisi perempuan di masyarakat. Pemerataan kesempatan-kesempatan berorganisasi dan berkegiatan di semua bidang bagi perempuan maupun laki-laki juga bisa untuk mendorong semangat perempuan untuk lebih mengaktualisasikan diri. Diharapkan dengan adanya banyak kesempatan berkembang bagi perempuan, dapat memantik pikiran dan semangat para mahasiswi untuk menunjukkan dan menguji kemampuannya dan menggugah kesadarannya akan kesetaraan gender di lingkungan sekitarnya. Prof Retno menyampaikan kalimat penutup acara yaitu dengan pernyataan, seluruh perempuan Indonesia harus terus bersemangat maju terus tanpa meninggalkan kodrat wanita.