Gelar wicara BINTANG (Bincang Inspiratif tentang SDGs) edisi Maret 2023 mengangkat tema “Microplastics is not a micro problem”. BINTANG edisi Maret kali ini, yang terselenggara atas kerja sama SDGs Center UNDIP dan Tanoto Scholars Association (TSA), menghadirkan pembicara Ir. Pertiwi Andarani, S.T., M.Eng., Ph.D. IPP dosen dan peneliti dari Departemen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, dan dipandu oleh Bonaventura Henry Adi Nugroho. Gelar wicara ini sudah ditayangkan di kanal Youtube berikut https://youtu.be/IhwAlt_MBGg sejak 31 Maret 2023.
Saat ditanya tentang apa itu microplastics, Pertiwi Andarani, Ph.D. menjelaskan bahwa microplastics adalah plastik yang ukurannya di bawah 5 milimeter sampai dengan 1 mikron bahkan ukuran nano. Menurut Pertiwi Andarani, Ph.D., saat ini sudah memasuki zaman plastik. Plastik mulanya diciptakan untuk menggantikan material-material alami (dari Sumber Daya Alam) yang berdampak buruk (meninggalkan residu, tidak tahan lama, cepat habis dan tidak dapat diperbarui) bagi lingkungan. Plastik, yang seharusnya untuk menggantikan bahan-bahan dari alam, dapat digunakan berulang kali karena kualitas durablenya, murah (biaya produksinya), dan mudah pembuatannya (mudah dicetak). Namun pada perkembangannya, plastik digunakan tidak semestinya, lama kelamaan diproduksi plastik sekali pakai yang bisa menimbulkan masalah pencemaran plastik terhadap alam, karena tidak mudah diurai oleh alam ketika dibuang.
Pertiwi Andarani, Ph.D juga menerangkan bahwa salah satu bentuk microplastics adalah scrub. Microplastics dapat bersumber primer yang dari awal memang diproduksi dalam ukuran mikro, dan dapat juga dari sumber sekunder yang berasal dari sampah plastik yang mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel plastik kecil hingga ukuran mikro secara proses kimia dan fisika. Dalam keterangan selanjutnya, disebutkan bahwa berdasarkan ukurannya, terdapat tiga ukuran plastik yaitu microplastics, mesoplastics, dan macroplastics. Penggolongan ukuran plastik-plastik tersebut adalah sebagai berikut, microplastics berukuran kurang dari 5 mm sampai 1 micron untuk yang terkecil, dan yag lebih kecil dari 1 micron masuk ukuran nanoplactics; mesoplastics berukuran 5 mm-5 cm, dan untuk macroplastics berukuran lebih dari 5 cm sehingga bisa dilihat bentuk plastiknya.
Perilaku plastik di lingkungan beda-beda. Plastik ketika berada di tanah (daratan), maka akan mengalami pemecahan partikel karena proses fisika atau kimia tanpa bisa terurai menjadi struktur tanah seperti bahan alami, yang bisa menimbulkan microplastics. Microplastics yang termigrasi dari daratan ke lautan bisa terjadi karena banyak penyebab, seperti kegiatan sehari-hari yang menyumbangkan timbunan microplastics seperti penimbunan sampah, selain itu juga karena terlepasnya komponen polyester dari kain baju yang dicuci atau digosok-gosokkan. Keberadaan plastik, baik makro atau mikro, di perairan laut atau sungai, memungkinkan perairan laut dan sungai tercemar dan mengubah kualitas air yang layak dikonsumsi dan menjadi habitat hidup hewan di perairan. Hal ini terkait erat dengan bagaimana plastik berpengaruh pada kondisi tanah dan air (ekosistem) yang ada di bumi. Maka, tema perbincangan BINTANG tentang microplastics ini berkaitan dengan SDGs 6 (Air Bersih dan Sanitasi Layak), SDGs 13 (Aksi Menangani Perubahan Iklim), SDGs 14 (Ekosistem Daratan), dan SDGs 15 (Ekosistem Lautan).
Pertanyaan mengenai indikator perairan yang tercemar plastik dijelaskan oleh Pertiwi Andarani, Ph.D. dengan keterangan bahwa baku mutu air menjadi standar pengukuran kualitas perairan yang ditentukan oleh pemerintah, sedangkan untuk microplastics belum ditetapkan baku mutu pencemarannya. Menurut keterangannya, microplastics secara alami seharusnya tidak ada di alam, karena merupakan buatan seluruhnya oleh manusia dan bukan zat yang ditimbulkan oleh alam. Berita buruknya, di lokasi yang tidak dihuni manusia, yaitu di Puncak Everest dan Dasar Palung Mariana sudah ditemukan microplastics. Plastik diproduksi besar-besaran sejak 1950 dengan total produksi 1,5 juta ton per tahun, hingga saat ini sudah diproduksi mencapai 300 juta ton per tahun. Berjuta-juta ton plastik yang sudah digunakan manusia sampai menimbulkan sebuah “benua baru” yang berisi sampah-sampah plastik, bahkan, sampai terperangkap dalam bekuan es di kutub. Bekuan sampah plastik di kutub ini bisa saja memenuhi samudera ketika perubahan iklim dan kenakan suhu bumi meningkat tajam benar-benar terjadi.
Bahaya microplastics terhadap ekosistem. Microplastics sudah ada di mana-mana tanpa disadari oleh manusia. Microplastics juga sudah ditemukan dalam feses manusia, darah, dan paru-paru manusia. Hal ini bisa dimungkinkan karena masuknya microplastics melalui udara yang dihirup saat bernafas, ataupun microplastics yang sudah terkandung dalam bahan makanan yang dikonsumsi, seperti ikan. Mesoplastics dan macroplastics sudah mulai dikonsumsi oleh binatang-binatang laut seperti paus, ikan ukuran sedang, dan binatang-binatang kecil yang mengkonsumsi plastik yang terlarung dalam laut. Jika ikan-ikan sudah mengkonsumsi plastik yang terlarung di perairan, maka sangat mungkin kandungan microplastics itu ikut terkonsumsi oleh manusia yang memakan ikan-ikan tersebut.
Selain keberadaan plastik yang ada di tubuh ikan, bahan tambahan dalam plastik juga ikut membahayakan ekosistem. Menurut keterangan Pertiwi Andarani, Ph.D., materi dari plastik terbuat dari olahan minyak bumi dengan tambahan bahan aditif (plasticizer) berupa BPA (untuk membuat plastik transparan) dan ftalat (membuat plastik lentur atau fleksibel sehingga lebih mudah dibentuk). Keberadaan bahan kedua aditif ini dalam plastik dalam jumlah tinggi dapat membahayakan tubuh. BPA bisa mempengaruhi kerja hormon, sedangkat ftalat dapat menimbulkan kanker.
Upaya yang bisa dilakukan oleh semua orang untuk meminimalisir penggunaan plastik, terutama plastik sekali pakai, agar dapat mengurangi dampak buruk pencemaran sampah plastik. Upaya yang dilakukan antara lain, bijak memilih material yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti memakai plastik yang tidak sekali pakai atau yang bisa dipakai berulang, untuk bidang industri juga bisa memilih material yang tidak berbahaya bagi lingkungan seperti bahan-bahan yang mudah ditarik oleh mikro plastik, tak lupa untuk melaksanakan 3R (Reuse-Reduce-Recycle) ketika menggunakan barang atau mengelola sampah dari plastik untuk mengurangi sampah yang dibuang, serta, edukasi larangan membuang sampah di sungai yang juga harus terus dilakukan.